Permasalahan di Desa

Para Mama Pengrajin di Desa Tulakadi
Suku-Suku Asli
Desa-desa di Pulau Timor khususnya di Kabupaten Belu dihuni oleh beragam etnis lokal yang tergabung dalam beberapa suku lokal seperti suku Tetun, suku Marae, suku Kemak hingga suku Dawan. Di perkotaan, keberagaman etnis lebih terasa dengan banyaknya pendatang dan kawin campur.
Di pedesaan, setiap suku biasanya memiliki wilayah dominan tempat para anggota suku tinggal. Misal, suku Kemak banyak mendiami desa Sadi, suku Marae mendiami desa Kewar, suku Dawan banyak mendiami desa-desa di perbatasan Kabupaten Belu dengan Kabupaten Timor Tengah Selatan. Sementara suku Tetun adalah suku dominan di Kabupaten Belu hingga Kabupaten Malaka bahkan negara Timor Leste di mana bahasa Tetun menjadi bahasa nasional.
Salah satu desa di mana banyak orang Tetun tinggal adalah desa Tulakadi. Desa Tulakadi terletak di kecamatan Tasifeto Timur Kabupaten Belu. Desa Tulakadi adalah desa yang cukup dekat letaknya dengan perbatasan antara Indonesia dan Timor Leste. Hal ini menyebabkan banyak pula pendatang dari Timor Leste yang menetap di desa ini.
Ketersediaan Air
Di desa Tulakadi terdapat sumber air sebanyak 7 titik mulai dari sumber air alami hingga sumur bor. Namun saat musim kering yaitu sekitar bulan Oktober air tidak mampu menjangkau dan memenuhi kebutuhan desa Tulakadi. Ketiadaan alat dan fasilitas penunjang membuat air tidak dapat dimanfaatkan dengan baik saat musim kemarau. Alhasil mereka harus berjalan kaki ke mata air maupun sumur bor sejauh 5-10 km untuk menimba air dan membawanya dalam jerigen. Tidak hanya orang tua, anak-anak pun ikut memikul jerigen air yang berat untuk ukuran anak-anak.
Pada musim penghujan pun, mereka tidak memiliki tempat penyimpanan air yang memadai sehingga penghematan air pun terjadi. Untuk konsumsi dan mandi mereka menggunakan air dari mata air atau sumur bor, sedangkan untuk mencuci setiap sore mereka harus berjalan ke sungai. Hal ini selain melelahkan juga berdampak buruk bagi lingkungan di mana deterjen akan mengkontaminasi sungai di mana mereka mencuci.
Desa Tulakadi hingga desa Sadi yang berada di kecamatan Tasifeto Timur adalah salah satu kecamatan yang sangat rentan akan ketersediaan air di musim kemarau. Daerah aliran sungai (DAS) yang melalui daerah ini memiliki kestabilan air yang rendah sehingga saat musim kemarau sungai akan nampak kering. Di sekitar desa Tulakadi pun mata air hanya mampu mencukupi ketersediaan air selama musim penghujan dan tidak akan mampu menjangkau desa saat musim kemarau.
Hal ini menyebabkan segala hasil perkebunan dan pertanian menjadi tidak maksimal. Kekurangan pendapatan serta kekurangan asupan gizi yang baik terkadang malah melahirkan masalah-masalah baru seperti rendah nya kualitas hidup.
Kualitas Hidup
Kabupaten Belu memiliki kualitas hidup yang terbilang rendah. Hal ini dapat dilihat dari angka usia harapan hidup yang rendah yakni 62 tahun jauh lebih rendah dari harapan hidup di NTT yakni 66 tahun. Usia harapan di Kabupaten Belu ini menurun setiap tahunnya. Berbanding terbalik dengan kebanyakan daerah di NTT dan bahkan Indonesia yang memiliki peningkatan.
Berbagai macam jenis penyakit, masalah gizi serta kesejahteraan masyarakat menjadi penyebab menurunnya angka usia harapan. Penyakit seperti ISPA, hipertensi hingga diare menjadi penyakit paling sering terjadi di Kabupaten Belu. Kekurangan persediaan air yang cukup dan bersih menjadi salah satu penyebab diare menjadi kasus penyakit terbanyak di kabupaten Belu.
Selain penyakit penyebab utama kualitas hidup yang rendah adalah masalah ekonomi. Tulakadi dan Sadi yang berada di kecamatan Tasifeto Timur adalah salah satu daerah termiskin di Kabupaten Belu. Tahun 2019 terdapat 11.694 penduduk miskin di kecamatan ini. Sulitnya mencari lapangan pekerjaan hingga sulitnya untuk berkebun, bertani dan beternak menjadi penyebab rendahnya kesejahteraan di daerah ini. Hal ini menyebabkan banyak pria dan anak muda yang meninggalkan desa untuk mencari pekerjaan di perkotaan bahkan ke luar negeri. Para wanita di pedesaan pun hanya bergantung pada penghasilan keluarga yang bekerja di luar desa. Adakala untuk menutupi kekurangan, kerajinan tangan menjadi penyambung hidup mereka.
Kesulitan ekonomi membuat tingkat pendidikan di Kabupaten Belu sangat rendah. Pada tahun 2014 pun terdapat 26,5% penduduk yang tidak pernah bersekolah, 15% yang pernah tamat SMA dan hanya sekitar 3,4% yang pernah berkuliah.
Rendahnya pendidikan membuat rendahnya kualitas SDM di Kabupaten Belu. Para penduduk yang keluar dari desa untuk bekerja pun tidak mampu memberikan penghasilan yang cukup untuk keluarga di desa.
Para ibu di desa pun bahkan meminjam uang dengan bunga tinggi di perkreditan hanya untuk hasil kebun yang bahkan tidak cukup untuk dijual akibat kurangnya pasokan air. Hal ini membuat para ibu sering menunggak pembayaran utang.
Kekurangan pendapatan disiasati dengan menekuni kerajinan tangan. Kerajinan tangan berupa anyaman hingga kain tenun, banyak digeluti oleh para wanita berusia dewasa. Namun begitu, dengan membuat kerajinan tangan pun mereka kesulitan mencari pembeli. Hasil karya mereka dianggap sudah usang dan tidak bernilai di daerahnya.
Alhasil selain masalah ekonomi, masalah sosial seperti tradisi yang memudar pun menjadi masalah besar di Kabupaten Belu. Para generasi muda merasa bahwa tidak ada lagi alasan untuk melanjutkan tradisi yang mereka anggap tidak memiliki nilai ekonomi.
Masalah yang Berputar
Permasalahan ekonomi, sosial, kesehatan, gizi, dan air menjadi masalah yang saling mempengaruhi dan para penduduk terjebak di dalam lingkaran ini. Walaupun terdapat program penanggulangan kemiskinan yang dibawahi oleh Desa atau Kelurahan setempat, program ini hanya berupa bantuan pangan dan kesehatan semata yang tidak menjamin kemandirian dan kelangsungan ekonomi jangka panjang.
Banyaknya kelompok binaan di Kabupaten Belu pun tidak dapat dimanfaatkan dengan baik oleh pemerintah karena banyak melakukan pembinaan dan promosi tapi kurang mendapat pemasukan.