Suku Kemak

Pelatihan Menganyam Para Wanita Pengrajin dari Suku Kemak di Desa Bauho

Profil dan Sejarah

Akar sejarah Suku Kemak berasal dari Bumi Lorosae, wilayah yang kini dikenal dengan sebutan Timor Leste. Jauh sebelum adanya Indonesia dan Timor Leste, Suku Kemak dipimpin oleh raja-raja kecil. Sejarah mencatat bagaimana Suku Kemak berdagang dengan bangsa Tionghoa dan Portugis.

Suku Kemak yang mendiami Desa Sadi menamakan dirinya Atamasa Ema yang artinya orang Kemak. Sebelum adanya Desa Sadi, Suku Kemak tersebar di Timor Leste di bawah jajahan Kekaisaran Portugal. Adanya percecokan yang memuncak pada tahun 1911 sampai 1912 oleh kerajaan Manufahi terhadap Portugis membuat banyak Suku Kemak terpaksa mengungsi dari Timor Leste.

Saat itu nenek moyang orang Kemak yang mendiami Diru Bati-Balo Tete di subdistrik Hatolia, distrik Ermera Timor Leste memulai perjalanannya keluar dari Timor Leste dipimpin oleh Raja Suku Kemak Diru Bati Don Fransisco Xavier De Martins Nai Leto. 

Dalam perjalanan, raja-raja kecil lainnya beserta rakyat, turut ikut dalam pengungsian ini.

Sesampainya di wilayah Kabupaten Belu, atas perundingan dengan Raja-raja di daerah Belu beserta Belanda, orang Kemak diizinkan untuk tinggal.

Meski telah jauh dari tanah kelahiran, Suku Kemak tetap mempertahankan tradisi dan kebudayaan mereka. Beberapa kerajinan hasil tradisi Suku Kemak adalah Tais yaitu kain Tenun dan Anyaman dari bahan alam.

 

Etimologi

Dalam bahasa Portugis disebut Quémaque dan oleh orang kemak sendiri mereka sering menyebut dirinya Atamasa Ema atau orang Kemak. 

 

Bahasa

Kemak adalah bahasa yang digunakan di Timor Timur dan di wilayah perbatasan Timor Barat Indonesia. Nama alternatifnya adalah Ema. Ini paling dekat hubungannya dengan Tocodede dan Mambai. Bahasa ini berstatus sebagai salah satu bahasa nasional dalam konstitusi Timor Timur, selain bahasa resmi Portugis dan Tetum.

 

Kehidupan

Ha'a luha adalah salah satu kegiatan adat tahunan yang dilakukan suku Kemak. Ha'a luha berasal dari bahasa Kemak ha’a artinya menyajikan sedangkan luha artinya kuburan. Ha’a juga biasa dilakukan di atas mezbah yang dibuat dari kumpulan batu pemali milik leluhur (hatu salamata/batu pintu masuk) yang ada di dekat rumah adat. Sehingga, Mazbah atau kuburan merupakan tempat untuk orang menyajikan sajian serta berkomunikasi dengan Yang Ilahi (Ubu atau Maromak) melalui orang-orang yang telah meninggal dunia (matebria).

Suku Kemak yang hidup tersebar di dua negara menyebabkan acara Ha’a luha menjadi sangat penting sebagai pengerat tali persaudaraan antar sesama suku Kemak. Diketahui pula bahwa terdapat 73 sub-suku yang ada dalam suku Kemak.

 

Kesenian

Kain tenun laki-laki (Tais Mane) dan kain tenun perempuan (Tais Hine) adalah salah satu hasil kesenian yang memiliki motif yang beragam. Selain itu terdapat perhiasan seperti Pais (kalung), Kelu (Gelang), Aideli (Cincin), Lesu (Destar) dan Tumar yaitu sebuah pelat emas atau perak yang digantung pada dada.

Dalam tradisi Ha’a luha juga sering dilaksanakan tarian Tlai. Tarian ini berisikan proses dua kelompok wanita yang memperebutkan satu pria. Pada puncak acara Ha’a luha akan dilakukan prosesi pemberkatan atau Kaba oleh ketua adat setempat kepada para sanak saudara. 

Lembaran anyam (Tikar) dalam Bahasa kemak biasanya disebut dengan istilah Biti. Biti terbuat dari daun Tali gewang (Tali Taha) atau dari daun pandan hutan (Heda Taha). 

Biti memiliki multi fungsi dalam kebiasaan orang-orang kemak di antaranya; dalam dunia pertanian  dan perkebunan biasa digunakan untuk menjemur hasil panen misalnya Jemur Padi (Pai Etu), Pai Samalesu (Jemur ubi kayu), Jemur asam (Pai Male). 

Adapun kegunaan lain selain di atas yaitu dalam budaya adat Kemak; orang kemak (atamasa kemak) menggunakan biti sebagai tempat  duduk bersila untuk menyelesaikan konflik, omong belis perempuan (Dale Hine heli), Tempat duduk para tamu yang datang melayat orang mati membawa nama suku (Mola mate) atau tempat duduk untuk para tamu yang datang ketika orang hendak mengukuhkan bangunan rumah adat baru.