Suku Bunak

Profil dan Sejarah

Suku Bunak atau yang dikenal juga dengan suku Marae adalah salah satu suku asli yang mendiami Kabupaten Belu bagian tengah sekitar kecamatan Lamaknen dan Tasifeto Timur. Suku Marae juga mendiami sebagian negara Timor Leste. Walaupun terpisah negara, hubungan baik tetap terjalin antar sesama suku Bunak di kedua negara. Suku Bunak banyak tinggal di daerah pedalaman jauh dari pesisir pantai. Hal ini membuat wilayah suku Bunak banyak tumpang tindih dengan suku-suku lain. 

Dua desa yang paling banyak terdapat suku Bunak adalah desa Henes dan desa Lakmaras. Dahulu kala kelompok masyarakat ini berpindah dari bagian Timur pulau Timor yang kini menjadi wilayah Timor Leste menuju bagian Barat. Dahulu saat awal mereka berpindah ke Barat diceritakan bahwa tempat itu sudah banyak dihuni oleh suku Melus yang turunannya dapat kita lihat sebagai suku Dawan. 

Saat itu orang Melus menguasai empat bukit yakni Lakmaras, Henes, Abis dan Si’arai. Suku Bunak mulai menempati wilayah empat bukit ini setelah perang melawan orang Melus. Ketiga bukit itu yakni Lakmaras, Henes dan Abis lalu dihuni hingga bertumbuh menjadi sebuah perkampungan. Bukit Si’arai dibiarkan kosong. Para tetua adat menyebut ketiga kampung ini sebagai lolo goni’on yang artinya tiga bukit dalam bahasa Bunak.

 

Etimologi

Di Kabupaten Belu, suku Bunak ditulis sebagai orang Buna’. Sedangkan oleh orang Tetun disebut sebagai Marae. Nama Buna’ sendiri berasal dari dua kata yakni Bun-bun yang berarti tempat yang tinggi serta Na-na yang berarti Nyala api yang terang dan membara. Hal ini didasari oleh tempat asal suku Bunak yang tinggi dan jauh.

 

Bahasa

Suku Bunak memanggil dirinya dengan sebutan En Buna’ yang artinya saya orang Bunak. Bahasa Bunak sendiri tidak termasuk ke dalam golongan Melayu Polinesia seperti suku Tetun dan suku Kemak. Bahasa Bunak masuk ke dalam rumpun bahasa Trans-Nugini yang menjadi rumpun bahasa Papua dan kepulauan di sekitarnya. 

Bahasa Bunak yang berbeda ini membuat penutur bahasa Tetun dahulu sulit berkomunikasi dengan suku Bunak. Ada cerita di Malaka mengenai syair tarian Tebe Lese Luan yang tidak dipahami bahkan oleh para tetua adat. Diketahui ternyata syair tersebut dinyanyikan dalam bahasa Bunak. Suku Tetun yang mendominasi wilayah Kabupaten Belu, Kabupaten Malaka hingga Timor Leste sering hidup berdampingan. Alhasil penggunaan bahasa antara berbagai suku ini sering bercampur.

Saat ini orang Bunak di daerah Indonesia banyak mencampurkan bahasa Indonesia dengan bahasa Bunak dalam keseharian mereka sedangkan orang Bunak di Timor Leste juga menggunakan bahasa Tetun dan Portugis dalam keseharian. Orang Bunak yang menggunakan campuran bahasa Indonesia sejak zaman Belanda disebut sebagai Buna’ Olandes atau orang Bunak Belanda dan orang Bunak yang tinggal di daerah berbahasa Portugis disebut dengan Buna’ Ewi Belis atau Bunak berkulit putih. 

 

Kehidupan

Hidup jauh dari pesisir membuat suku Bunak hidup dengan bertani. Namun dengan kondisi tanah yang tandus dan kekurangan sumber air menyebabkan hasil panen kurang maksimal. Hasil pangan utama suku Bunak adalah ubi dan jagung. Dalam aturan adat dibuatlah aturan tata-guna wilayah adat untuk dijadikan pertanian. Proses bertani atau mar hone pun menggunakan sistem tebas-tebar di mana lahan semak belukar akan ditebas, dibakar lalu ditanam bibit seperti jagung. Aturan tata-guna wilayah pertanian ini digunakan untuk memberikan jatah pengelolaan. Misal tahun pertama setelah semak belukar dibersihkan maka tanah akan lebih subur. Lahan baru ini disebut mar tip. Sedangkan pada tahun berikutnya setelah panen pertama, lahan akan menjadi kurang subur. Lahan lama ini disebut mar kolun

Dalam sistem tatanan adat, terdapat pemerintahan adat atau muk ukon yang terdiri atas Na’i yang berasal dari suku bangsawan wanita, Fetor yang berasal dari suku bangsawan pria dan Tamukun yang berasal dari suku bangsawan biasa. Dapat dilihat bahwa posisi Na’i atau tuan besar dipegang oleh pemimpin dari uma metan dato pana atau suku bangsawan tinggi perempuan. Hal ini disebabkan oleh suku Bunak yang menerapkan tradisi matrilineal. Jika seorang pria akan menikah dengan seorang wanita, maka pria ini akan tinggal di rumah wanita. Mas kawin atau belis yang dikeluarkan oleh pria untuk meminang wanita pun terbilang yang termahal di daratan Timor.

 

Kesenian

Salah satu upacara adat yang kerap dilakukan adalah An gene yakni upacara pembukaan lahan pertanian. Upacara adat ini dilaksanakan sekitar bulan Juli hingga Agustus sesaat sebelum semak belukar ditebas dan dibakar. Dalam upacara ini para masyarakat akan melakukan ziarah ke hutan keramat yang terdapat sebuah sumur yang tak pernah kering. Hal ini disebut sebagai tala. Tala-hol, il por atau Pohon, batu dan air keramat adalah benda alam yang sangat dilarang untuk dirusak atau ditebang.

Dalam pesta adat pun kerap pula dilakukan permainan cie ti atau adu ayam, kute’ gete atau lempar gasing serta bon gete yaitu permainan melempar buah balam. Kesenian berupa kerajinan tangan pun menjadi kekayaan tersendiri orang Bunak seperti Tais dan anyaman. Kain tenun atau Tais seperti suku-suku lain dibagi ke dalam dua jenis yakni Tais Mone untuk laki-laki dan Tais Pana untuk perempuan. Kain tenun untuk mengikat pinggang disebut do’ti’ gol dan untuk kepala sebagai dubul ti gie. Kain tenun pun dibuat menggunakan kapas atau go dan diwarnai dengan bahan alami seperti hur atau cemara untuk menghasilkan warna merah dan pohon nenuk untuk warna kuning serta tanah hitam untuk warna hitam. 

Dalam kesenian menganyam, suku Bunak juga membuat Taka atau Tanasak berupa anyaman segi enam untuk keperluan adat. Untuk Tanasak dengan hiasan warna-warni disebut Taka li’as yang dipergunakan sebagai tempat nasi untuk bangsawan. Lalu terdapat pula Taka gol yang digunakan untuk seserahan kepada arwah leluhur dalam upacara adat. Tempat untuk mengisi sirih pinang disebut Opa pana untuk perempuan dan Opa Mone untuk laki-laki. Suku Bunak juga banyak membuat pil yakni tikar besar yang dipergunakan sebagai alas tidur hingga untuk keperluan acara besar seperti adat perkawinan.